“What’s in a name?” penggalan lirik drama
gubahan William Shapespeare itu selalu diidiomkan orang untuk menafikan
arti sebuah nama. Idiom itu mungkin muncul di benak pelanggan seluler XL
ketika operator kesayangan mereka berganti nama menjadi PT XL Axiata
Tbk.
Senin 16 November
lalu, PT Excelcomindo Pratama Tbk yang lebih akrab dengan panggilan XL
meresmikan nama barunya melalui rapat umum pemegang saham luar biasa
(RUPSLB).
Secara teknis, perubahan nama itu leibh berdampak
internal pada penyesuaian anggaran dasar perusahaan. Selebihnya,
pelanggan tidak akan merasakan perubahan signifikan. Kata Shakespeare, “What’s in a name? That which we call a rose. By any other name would smell as sweet.”
Memang, diganti dengan nama apa pun, semerbak wangi bunga mawar tidak akan berubah. Seandainya penggubah drama Romeo and Juliet
itu hidup pada zaman sekarang dan menjadi pelanggan XL Axiata, mungkin
penggalan dialog drama itu bisa dipelesetkan menjadi “apalah arti
tambahan nama Axiata, toh nomor pelanggan dengan awalan empat angkat 0817-0819 tidak ikut diganti.”
Pergantian nama itu tidak telepas dari restrukturisasi induk perusahaan XL Axiata, yaitu Axiata Group Berhad dari Malaysia.
Perusahaan
itu menguasai 83,8% saham XL Axiata-melalui anak perusahaannya Indocel
Holding Sdn Bhd. Pemegang saham XL Axiata lainnya adalah Etisalat
International Indonesia (15,97%) dan publik (0,23%).
Axiata group juga baru berganti nama Maret 2009, yang sebelumnya lebih dikenal danan TM (Telecom Malaysia) International.
Axiata
Group memutuskan menggunakan nama baru tersebut untuk melepaskan diri
dari bayang-bayang ‘mantan’ induk perusahaannya, yaitu Telecom Malaysia
(TM), karena telah disapih atau spin off sejak April 2008.
Dengan
pemisahan tersebut, TM lebih berkonsentrasi menggarap layanan telepon
tetap, Internet, teknologi informasi. Adapun TM International (yang
kemudian berubah nama menjadai Axiata Group Berhad) diberi keleluasaan
untuk mengembangkan bisnis seluler.
Pilihan kata Axiata merupakan
dirivasi dari bahasa Barat dan Timur yang kemudian diformat mendekati
kata Asia. Kalau ditelusuri dari bahasa Yunani, kata axia atau axio
memiliki arti manfaat. “Visi kami adalah memajukan bangas Asia,” tulis
siaran pers Axiata Group 2 April 2009.
Emas terpendam
Ada
hal yang menarik di balik pergantian nama tersebut, karena hal itu
hanyalah tanda yang tampak di permukaan dari proses metemorfosis raksasa
bisnis telekomunikasi Malaysia.
Pijakan bisnis seluler Axiata
Group di Malaysia-melalui Celcom (Malaysia) Berhad-sudah menunjukkan
tanda-tanda kejenuhan. Celcom harus bertarung dengan Maxis dan DiGi
untuk memperebutkan pasar domestik berpenduduk 28,31 juta per Juli 2009,
menurut data Jabatan Perangkaan Malaysia atau Badan Statistik Malaysia.
Hingga
Juni tahun ini, Celcom memiliki pelanggan sebanyak 9,7 juta nomor, jauh
dibawah Maxis yang menguasai 40% pasar dengan 11,4 juta pelanggan.
Adapun DiGi menempati peringkat ketiga dengan 7,11 juta pelanggan.
Total pelanggan dari tiga operator seluler tersebut mencapai 28,2 juta atau sekitar 99,6% dari total jumlah penduduk Malaysia.
Itulah
sebabnya mantan anak usaha Telekom Malaysia itu jauh-jauh hari sudah
mengambil ancang-ancang untuk mencari celah kejenuhan dengan merambah
pasar regional Asia. Gebrakan pertama dilakukan di Bangladesh pada 1995
dengan membeli Aktel yang kemudian berganti nama menjadi Axiata
Bangladesh (AxB). Saat ini Axiata menguasai 70% saham AxB.
Hingga
kini, sayap bisnis Axiata Group sudah merambah 9 negara tetangga, yaitu
Indonesia (XL Axiata), Srilanka (Dialog), Bangladesh (AxB/Axiata
Bangladesh), Kamboja (TMIC/Telekom Malaysia International Company),
India (IDEA), M1 (Singapura), Iran (MTCE), Pakisatan (Multinet), dan
Thailand (SAMART).
Tiga anak usaha pertama merupakan unit usaha
bidang telekomunikasi seluler dan menjadi primadona. Sekitar 48,5% dari
total omzet Axiata Group sebesar Rp6.030 juta (16,8 triliun) pada
kuartal II/2009 disumbangakan oleh XL Axiata, Dialog, dan AxB.
Bisnis
seluler Celcom, memberikan kontribusi omzet 49,7%. Adapun kegiatan
bisnis di Kamboja, Thailand, Singapura, India, Pakistan, dan Iran hanya
memberikan kontribusi omzet yang sangat kecil, yaitu 1,8% selama
April-Juni tahun ini.
Jika dilihat dari perspektif kontribusi
omzet, XL Axiata merupakan ladang emas yang belum digali secara
maksimal. Maklum, dengan 24,7 juta pelanggan (per Juni 2009), XL Axiata
hanya mengontribusi 32% omzet. Bandingkan dengan Celcom yang hanya
memiliki 9,7 juta pelanggan seluler (plus 420.000 pelanggan broadband
seluler), tetapi kontribusinya mencapai 50%.
Rupanya, hal itu terkait dengan perolehan ARPU (average revenue per user)
yang sangat timpang antara kedua unit bisnis seluler itu. ARPU bulanan
pelanggan prabaya Celcom per Juni 2009 mencapai Rp41 (sekitar Rp114.000)
atau hampir empat kali lipat dari ARPU prabayar XL Axiata. Adapun ARPU
pascabayar Celcom mencapai RM97 (sekitar Rp270.000) atau 1,7 kali lipat
dari ARPU pascabayar XL Axiata.
Namun, jangan lupa, masih sangat
terbuka peluang menambah basis pelanggan XL Axiata karena penetrasi
seluler di Tanah Air baru 76% dari total 230 juta penduduk, sementara
Celcom harus berhadapan dengan pasar domestik yang sudah jenuh.
Kalau
saja XL Axiata juga mampu ‘memancing’ pelanggan prabayarnya untuk
menambah belanja pulsa bulanan, bukan tidak mungkin kontribusi XL Axiata
menyalip Celcom.
Apakah momentum perubahan nama XL Axiata ini
akan diikuti dengan gebrakan untuk menggenjot basis pelanggan dan
mendongkrak ARPU? Kita tunggu saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar